Benarkah Yesus Menganggap Diri-Nya sebagai Allah? Selalu ada individu maupun kelompok (baik pada zaman dulu maupun sekarang) yang membantah gambaran Perjanjan Baru tentang Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi (satu Pribadi yang sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia). Namun, evaluasi yang memadai terhadap data Kitab Suci tidak meragukan Perjanjian Baru yang menegaskan keilahian Yesus. Memandang Yesus Kristus sebagai Allah-manusia adalah konsensus historis dan ortodoks umat Kristen (Katolik, Ortodoks, dan Protestan). Namun, bagaimana Yesus memandang diri-Nya? Beberapa kritikus menyatakan bahwa Dia tidak pernah benar-benar mengaku sebagai Allah dan bahwa gereja Kristen telah keliru menarik kesimpulan ini.
Yesus tidak pernah mengucapkan kata-kata “Akulah Allah,” tetapi Dia sangat menyadari keilahian-Nya dan dengan sengaja menyingkapkan keilahian-Nya agar dapat diketahui oleh orang lain. Keempat poin berikut menggambarkannya:
1. Yesus menyamakan diri-Nya dengan Bapa (Allah YAHWEH).
Dalam pelayanan-Nya kepada masyarakat, Yesus mengidentifikasi diri-Nya begitu dekat dengan Bapa dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa Dia (Yesus) adalah Allah. Dia menyatakan kedekatanNya ini dengan cara berikut:
a) Mengenal Yesus sama dengan mengenal Allah: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (Yohanes 14:7).
b) Melihat Yesus sama dengan melihat Allah: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).
c) Mengalami perjumpaan dengan Yesus sama dengan mengalami perjumpaan dengan Allah: “Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yohanes 14:11).
d) Percaya kepada Yesus sama dengan percaya kepada Allah: “Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku” (Yohanes 14:1).
e) Menyambut Yesus sama dengan menyambut Allah: “Barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku” (Markus 9:37).
f) Menghormati Yesus sama dengan menghormati Allah: “Supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa” (Yohanes 5:23).
g) Membenci Yesus sama dengan membenci Allah: “Barangsiapa membenci Aku, ia membenci juga Bapa-Ku” (Yohanes 15:23).
h) Datang kepada Yesus sama dengan datang kepada Allah: “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).
i) Mengasihi Yesus sama dengan mengasihi Allah: “Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku” (Yohanes 14:21).
j) Menaati Yesus sama dengan menaati Allah: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yohanes 14:23).
Perenungan pribadi:
1. Jika Yesus bukan Allah, apa dampaknya bagi iman percaya kita sebagai orang Kristen?
2. Ketika kita mendengar ada orang atau pandangan lain yang mengatakan Yesus bukan Allah, bagaimana seharusnya kita menanggapinya?
2. Yesus membuat klaim-klaim langsung yang dianggap menghujat oleh banyak pemimpin agama Yahudi.
Sebagai kaum monoteis yang fanatik, banyak orang Yahudi pada zaman Yesus menjadi marah terhadap klaim-klaim-Nya bahwa Dia memiliki otoritas Ilahi. Reaksi mereka menunjukkan mereka mengerti bahwa Yesus menyatakan diri-Nya sendiri sebagai Allah. Pengakuan inilah yang dipermasalahkan:
“Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah.”
Yohanes 5:17-18
Yesus yang berulang kali bersikeras menyatakan bahwa Dia memiliki hubungan akrab dan khusus dengan Allah Bapa membuat orang banyak marah. Yesus tidak berbicara tentang Allah sebagai “Bapa kita,” tetapi sebagai “Bapa-Ku.”
“Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia.
Yohanes 8:58-59
Yesus menggunakan kata “Aku” (Yunani, ego eimi) yang sama saja dengan mengatakan “Akulah Allah”, karena Dia memakai “salah satu ungkapan ilahi yang paling suci” dari Perjanjian Lama untuk diri-Nya. Yahweh telah secara khusus memberi petunjuk tentang diri-Nya sebagai “Aku” atau “Akulah Dia” (Yesaya 41:4; 43:10, 13, 25; 46:4; 48:12). Yesus juga telah dinyatakan di dalam Keluaran 3:14 di mana Yahweh menyebut Yesus sebagai “AKU ADALAH AKU” yang luar biasa. Sekali lagi, reaksi dari pihak orang Yahudi yang melempari Yesus dengan batu (hukuman yang ditetapkan untuk penghujatan, Imamat 24:16) secara kontekstual membenarkan adanya pernyataan bahwa Dia menyatakan diri-Nya sebagai Allah.
“Aku dan Bapa adalah satu.” Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” Jawab orang-orang Yahudi itu: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.”
Yohanes 10:30-33
Kata Yunani untuk “satu” (hen) dalam ayat ini adalah dalam bentuk netral sehingga tidak menyiratkan bahwa Yesus dan Bapa adalah orang yang sama. Kalimat ini bisa diterjemahkan: “Aku dan Bapa, kami adalah satu.” Selain itu, kesatuan antara Yesus dan Bapa lebih dari sekadar kesatuan tujuan atau tindakan. Kesatuan yang dijelaskan di sini memiliki nuansa metafisika yang jelas (Allah). Orang-orang Yahudi tentu memahami pernyataan Yesus itu mengacu pada Allah, karena lagi-lagi mereka berusaha untuk melempari-Nya dengan batu.
“Imam Besar itu bertanya kepada-Nya sekali lagi, katanya: “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” Jawab Yesus: “Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.” Maka Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: “Untuk apa kita perlu saksi lagi? Kamu sudah mendengar hujat-Nya terhadap Allah. Bagaimana pendapat kamu?” Lalu dengan suara bulat mereka memutuskan, bahwa Dia harus dihukum mati.”
Markus 14:61-64
.
Para pemimpin agama Yahudi menangkap, mengadili, dan menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus untuk kejahatan penghujatan. Pernyataan-pernyataan-Nya di hadapan imam besar menjadi kesaksian yang meyakinkan. Perhatikanlah empat hal dalam percakapan singkat antara Yesus dengan imam besar Israel:
(a) Dia dengan tegas mengidentifikasi diri-Nya sebagai Mesias Israel,
(b) Dia menggunakan gelar “Anak Manusia”, yang dalam konteks-konteks tertentu dipandang sebagai gelar ilahi (Daniel7:13-14),
(c) Dia menggambarkan diri-Nya duduk di “sebelah kanan” Allah, yang menyiratkan bahwa Dia memiliki otoritas Allah (Mazmur 110:1),
(d) Dia mengisyaratkan “kedatangan-Nya di atas awan-awan,” yang mengidentifikasi diri-Nya sebagai Hakim umat manusia pada masa yang akan datang.
Perenungan pribadi:
1. Jika kita mendapati ayat-ayat yang sepertinya mengatakan bahwa Yesus tidak setara bahkan lebih rendah, apa yang harus kita lakukan?
2. Jika kita sudah melihat bukti-bukti ketuhanan Yesus yang jelas dalam Alkitab, bagaimana kita seharusnya berespons? Apakah kita masih tetap bebal dan tidak mau peduli terhadap kebenaran itu?
3. Secara tidak langsung Yesus menyatakan diri sebagai Allah dengan menerapkan hak-hak prerogatif Allah.
Selama pelayanan-Nya, Yesus terlibat di dalam fungsi-fungsi yang disediakan khusus bagi Allah saja. Dalam konteks monoteisme Yahudi yang ketat, LIMA tindakan berikut ini dianggap menghujat bagi siapa pun kecuali Allah:
(A) MENGAMPUNI DOSA — “Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: ‘Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!’” (Markus 2:5).
Yesus mengklaim diri berotoritas untuk mengampuni dosa, bahkan dosa yang tidak dilakukan terhadap diri-Nya secara pribadi — sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah. Karena seluruh dosa-dosa manusia secara ultimat ditujukan kepada Allah, mengaruniakan pengampunan seharusnya menjadi otoritas eksklusif bagi Tuhan Allah yang Mahakuasa (Imamat 16:30; 2 Samuel 12:13). Klaim dari Yesus dipandang oleh para pemimpin Yahudi pada zaman itu hanya sebagai sebuah hujatan dan sebuah ancaman radikal terhadap otoritas dan panggilan religious mereka. Seorang pemikir Kristen bernama Paul Copan menjelaskan demikian: “Yesus yang mengampuni dosa, bukan hanya menggeser posisi Bait Allah, tetapi mengasumsikan posisi otoritas Allah.”
(B) MENERIMA PENYEMBAHAN — “Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya” (Matius 28:17).
Yesus menerima penyembahan dari manusia lain — sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah. Tindakan Yesus yang menerima penyembahan secara bebas (misalnya Matius 14:33; Yohanes 9:38; 20:28) menunjukkan bahwa Dia melihat dirinya dalam kategori yang berbeda dari pada sekadar ciptaan belaka.
Para rasul yang terhormat seperti Paulus dan Barnabas, bahkan para malaikat senantiasa menolak untuk menerima penyembahan dari makhluk ciptaan lainnya (Kisah Para Rasul 14:14-15; Wahyu 19:10). Dalam perspektif Yahudi Bait Allah Kedua yang keras, penyembahan kepada makhluk lain selain YAHWEH adalah hal yang tak terbayangkan dan merupakan sebuah pelanggaran langsung terhadap salah satu dari Sepuluh Hukum Taurat (Keluaran 20:3-6). Sebagaimana dicatat oleh ESV Study Bible, “Ketika seorang Yahudi monoteistik seperti Yesus menerima penyembahan dari orang-orang Yahudi monoteistik lainnya menunjukkan bahwa Yesus menyadari bahwa diri-Nya mempunyai sebuah identitas ilahi.”
(C) MENJAWAB DOA — “Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya” (Yohanes 14:14).
Yesus memiliki kemampuan untuk mendengar dan menjawab doa — sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah. Allah yang mahahadir adalah penerima eksklusif dari doa-doa manusia (Mazmur 116:1). Namun demikian, Yesus mengklaim bukan hanya Dia mendengar doa, tetapi jika memiliki kuasa dan kedaulatan untuk menjawab doa sesuai dengan kehendak-Nya, yang jelas-jelas merupakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri.
(D) MEMBANGKITKAN ORANG MATI — “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya” (Yohanes 5:21).
Yesus menggunakan kuasa dan otoritas yang unik dengan membangkitkan orang mati — sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah. Sebagai sumber dari segala kehidupan, hanya Allah yang dapat memberikan hidup kepada orang-orang yang sudah mati (Ulangan 32:39; 1 Samuel 2:6). Hanya Allah yang bersifat kekal dan empunya kuasa untuk mengalahkan kematian dengan membangkitkan seseorang dari antara orang mati.
Namun demikian, Yesus menggunakan kuasa ilahi yang eksklusif ini pada saat pelayanan publiknya dengan membangkitkan seorang temannya Lazarus (Yohanes 11:41-44). Peristiwa-peristiwa lainnya yang melibatkan seseorang dibangkitkan dari kematian dalam Alkitab semuanya dilakukan dalam nama YAHWEH atau dalam nama Yesus.
(E) MENGHAKIMI MANUSIA — “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” (Yohanes 5:22).
Yesus mengklaim atas diri-Nya memiliki kuasa untuk menghakimi manusia — sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah. Sebagai Pencipta dari umat manusia, Allah secara eksklusif mempunya hak penuh untuk menghakimi seluruh manusia (Kejadian 18:25; Hakim-hakim 11:27). Tetapi, Yesus mengklaim bahwa Dia mempunyai kuasa penghakiman dan otoritas Allah untuk menghakimi seluruh ciptaan yang ada.
Jika kita mempertimbangkan kelima hak istimewa ilahi yang dilaksanakan oleh Yesus, kita dapat mulai membangun sebuah argumen berikut ini:
Premis 1: Siapa saja yang melakukan hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh Allah adalah Allah.
Premis 2: Yesus melakukan hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh Allah.
Kesimpulan: Maka, Yesus adalah Allah.
Perenungan pribadi:
1. Pernahkah kita menjumpai orang-orang yang mempertanyakan ketuhanan Yesus?
2. Sudahkah kita mempelajari Alkitab PB secara serius dan menyeluruh, sehingga kita dapat memberikan jawaban yang memadai kepada mereka yang belum melihat Yesus yang sesungguhnya?
4. Secara tidak langsung Yesus menyatakan diri sebagai Allah ketika mengajar, menggunakan Alkitab PL, dan mengenakan berbagai sebutan Ilahi pada diri-Nya.
PERTAMA, pengajaran Yesus merefleksikan sebuah otoritas ilahi. Sekalipun Yesus tidak pernah mendapatkan pendidikan teologi secara formal di sekolah para Rabi, Dia mengajar dengan otoritas ilahi yang tidak pernah ada sebelumnya. Yesus membuat orang banyak begitu takjub, sebagaimana disebutkan dalam Matius 7:29, “sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” Seorang pakar Perjanjian Baru, Richard Bauckham, menjelaskan bahwa “Yesus berbicara dan bertindak dengan otoritas Allah dengan cara yang melampaui apa yang biasa dilakukan oleh para nabi-nabi dan figur lainnya dalam tradisi Yahudi.”
KEDUA, Yesus dengan otoritas-Nya menafsir dan menafsirkan ulang Kitab Suci dan menyamakan firman yang disampaikan-Nya sama dengan tingkatan Alkitab Perjanjian Lama. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus menambahkan kepada perintah yang begitu terkenal mengenai larangan membunuh dengan berkata, “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum” (Matius 5:22). Dalam Matius 24:35, ia berkata pula, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” Kata-kata Yesus ini membawa sebuah otoritas tertinggi yang hanya dapat diberikan kepada Allah saja di dalam konteks agama Yahudi.
KETIGA, Yesus menandaskan bahwa Alkitab Perjanjian Lama menubuatkan diri-Nya secara khusus. Lukas 24:27 berkata bahwa Yesus “menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” Yesus, sang Firman hidup, menjelaskan bagaimana Firman yang tertulis sebelumnya itu membicarakan mengenai kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Sekali lagi, pembacaan dan penggunaan Yesus akan Alkitab Perjanjian Lama begitu berani dan tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh orang lain.
KEEMPAT, Yesus menyebut diri dengan memakai titel-titel dalam Perjanjian Lama yang dalam konteks tertentu menegaskan keilahiannya. Sebuah contoh yang baik dapat ditemukan ketika Dia diadili di hadapan kaum Sanhedrin di mana Yesus menggunakan titel “Anak Allah” dan “Anak Manusia” yang merujuk pada diri-Nya. Penggunaan kedua titel tersebut menyebabkan para Imam Besar Yahudi menjatuhkan hukuman mati pada Yesus karena ia telah menghujat Allah (Matius 26:62-66; Markus 14:60-64).
Apakah arti dari titel atau gelar “Anak Allah”? Tentu saja, Yesus bukanlah anak Allah secara biologis (kata Yunani “teknos” - anak secara fisik), tetapi Anak Allah yang memiliki relasi spiritual (kata Yunani yang dipakai adalah “huios” yang dapat berarti anak secara metaforis - seperti istilah “anak Indonesia” atau “anak bangsa”). Kelahiran Yesus sebagai anak dara menegaskan bahwa Dia bukanlah hasil dari hubungan biologis secara alamiah, tetapi secara supranatural karena karya Allah sendiri (Lukas 1:35). Yesus sebagai Anak Allah berarti Dia memiliki natur atau esensi ilahi, sehingga Dia memiliki identitas yang unik serta relasi yang tidak ada duanya dengan Allah. Oleh sebab itu, ketika Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak Allah, kaum Yahudi langsung naik pitam dan menjatuhkan hukuman mati atas tindakan penghujatan tersebut.
Bagaimana dengan Anak Manusia? Gelar ini adalah sebutan favorit Yesus atas diri-Nya. Dia menyebut diri dengan istilah ini sebanyak lebih dari 80 kali di kitab-kitab Injil, dan pada setiap kesempatan tersebut, Yesus memakai gelar tersebut secara eksklusif untuk berbicara tentang diri-Nya (misalnya Matius 16:13; Markus 13:26). Sebagaimana telah dijelaskan di RAM #5 (minggu pertama bulan Mei), Daniel 7:13-14 menjadi latar belakang untuk memahami arti dari penggunaan gelar tersebut, di mana Yesus mengidentifikasi dirinya sebagai “sang” Anak Manusia (dalam bahasa Yunani menggunakan kata “ho” - “the”) yang berarti Yesuslah Sang Anak Manusia yang dinubuatkan tersebut (bdk. Mazmur 110:1), berbeda dari sebutan “anak manusia” yang terkadang dikenakan kepada para nabi-nabi dalam Perjanjian Lama (misalnya Yehezkiel). Dengan mengaku diri sebagai Sang Anak Allah tersebut, sekali lagi, Yesus dijatuhi hukuman mati dengan penyaliban oleh orang-orang Yahudi yang paham betul arti kata tersebut.
Kata-kata dari Richard Bauckham berikut menolong kita untuk memahami respons dari kaum Yahudi: “Hanya dengan mengklaim diri sebagai sang Mesias tidak mungkin dianggap sebuah hujatan, tetapi mereka menangkap bahwa Yesus mengklaim sesuatu yang lebih, sesuatu yang terdengar oleh mereka seperti sebuah pelanggaran terhadap hak prerogatif tunggal Allah yang memiliki kedaulatan universal.”
Perenungan pribadi:
1. Sudahkah kita meyakini baik secara emosional dan rasional bahwa Yesus adalah Allah dan Tuhan atas hidupmu?
2. Maukah kita mengabarkan berita tentang Yesus sebagai Allah bagi mereka yang belum percaya dan tidak mengenal Allah dengan benar?
Pada keempat bagian sebelumnya, kita telah melihat bukti-bukti alkitabiah berkenaan dengan ketuhanan Yesus Kristus, beserta argumen-argumen pendukung lainnya. Di bagian terakhir ini, akan dijelaskan enam ayat yang utama tentang inkarnasi Yesus yang adalah Allah itu menjadi manusia, guna menegaskan akan identitas Yesus yang sejati:
1. Yohanes 1:14 — “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita . . .” Injil Yohanes secara eksplisit mengajarkan bahwa sang Firman itu (Anak Allah yang kekal), yang bersama-sama dengan Allah dan yang adalah Allah sendiri (Yohanes 1:1), menjadi manusia. Anak Allah pada dasarnya memiliki sebuah natur ilahi, tetapi pada saat berinkarnasi Ia mengambil sebuah natur manusia yang tiil sehingga menjadi Allah sekaligus manusia. Dengan memandang Yesus sebagai Allah yang menjadi daging atau berinkarnasi membedakan kekristenan historis dari pandangan gnostisisme, yang mengajarkan bahwa Allah tidak dapat menjadi manusia oleh karena materi duniawi ini pada dasarnya adalah jahat. Kelompok-kelompok agama tertentu hari-hari ini, seperti sekte-sekte “mind science” dan Gerakan Zaman Baru (New Age), mengajarkan pandangan-pandangan yang mirip dengan gnostisisme.
2. Roma 1:3-4 — “ . . . tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.” Rasul Paulus menyebut kedua natur manusia (“daging”) dan natur ilahi milik Yesus. Kemanusiaan Yesus dikenal melalui keturunannya—ia berasal dari keturunan Israel dari raja Daud bersama dengan garis keturunan raja yang mesianis (Yesaya 11:1). Keilahian Yesus sebagai sang Anak Allah, demikianlah, menjadi jelas melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati secara ajaib. Maka, Yesus adalah sang Kristus (atau Mesias) dan Tuhan itu sendiri.
3. Roma 9:5 — “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” Sekali lagi, Paulus membedakan antara kemanusiaan Yesus dan keilahian-Nya. Kemanusiaannya terikat pada garis keturunan Yahudinya, dan keilahian-Nya membuat Yesus dirujuk sebagai Allah “yang ada di atas segala sesuatu.” Dalam konteks ini, rujukan tersebut juga berlaku pada natur manusia dari Yesus dan bukanlah menjadi sebuah doksologi yang terpisah hanya untuk keilahian-Nya semata.
4. Filipi 2:6-7 — “ . . . yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Perikop ini, yang merefleksikan sebuah himne Kristen yang primitif, berbicara tentang Yesus Kristus yang memiliki natur dan bentuk Allah secara metafisikal di dalam kondisi kekekalan sebelum dunia dijadikan. Ia memiliki esensi yang sama dengan Allah dan dengan begitu Ia adalah Allah sendiri. Jadi, sekalipun Yesus memiliki natur dan hak-hak prerogatif Allah, Yesus tidak mempertahankan status dan keberadaan-Nya yang agung itu tetapi justru merendahkan diri-Nya sebagai seorang hamba dan mengambil tubuh manusia. Demikianlah, Ia menjadi sang Allah-manusia (God-man).
5. Kolose 2:9 — “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan . . .” Bagian ini menandaskan dengan sangat gamblang bahwa esensi keseluruhan dari Allah ada pada kesatuan di dalam tubuh milik Yesus Kristus. Dalam konteks surat ini, rasul Paulus merespons secara langsung kepada ajaran sesat yang secara kategorial menyangkal bahwa Kristus telah datang dalam daging (ide-ide yang mengantisipasi gnostisisme). Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat yang dibahas sebelumnya, menggambarkan bahwa doktrin inkarnasi adalah sebuah fitur utama dari khotbah dan pengajaran dari Paulus.
6. 1 Yohanes 4:2 — “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah.” Rasul Yohanes juga merespons terhadap ajaran-ajaran sesat yang menolak kemanusiaan Kristus yang riil dengan menegaskan bahwa doktrin kekristenan yang sejati harus melibatkan konsep inkarnasi. Faktanya, Yohanes memakai “Allah dalam daging” sebagai ujian sejati bagi ortodoksi Kristen (kepercayaan yang benar). Semua sekte-sekte religius lainnya, baik kuno dan kontemporer, yang menolak ketuhanan dan kemanusiaan Yesus dianggap tidak termasuk dalam lingkaran persekutuan dari kepercayaan Kristen yang historis. Para rasul Yesus memikirkan doktrin dan perdebatan doktrinal secara serius, dan teladan mereka itu haruslah kita ikuti pada masa kini.
Perenungan pribadi:
1. Maukah kita menjadi pengikut-pengikut Kristus yang setia dengan memberitakan Injil dalam keseharian hidup kita?
2. Jika Yesus, yang sekalipun adalah Allah, mau menjadi manusia dan merendahkan diri-Nya, layakkah kita menjadi orang yang tinggi hati dan tidak mau melayani sesama kita?
-Diadaptasi dari Kenneth R. Samples, “Without A Doubt,” terj. Literatur SAAT, bab 8, hal. 128-133 dan “God Among Sages,” Zondervan, bab 1, hal. 9-13; bab 3, hal. 43-45
Referensi tambahan:
- Robert M. Bowman & J. Ed Komoszewski, “Menempatkan Yesus di Tahta-Nya,” terj. Literatur SAAT, 2015.
- Nabeel Qureshi, “No God But One,” Zondervan, 2013, bab 29-32.
- Norman Geisler & Frank Turek, “I Don’t Have Enough Faith To Be An Atheist,” terj. Literatur SAAT, 2015, bab 13
- William Lane Craig, “On Guard,” David C. Cook, 2010, bab 8.
Repost:
· Apologetika Indonesia IG: @apologetikaindonesia